Senin, 27 Mei 2013

Edit

Ibadah “Kaum Minoritas” = Pertunjukkan?


Sabtu, 25 Mei 2013.

Perjalananku kali ini benar-benar perjalanan luar biasa. Banyak pelajaran yang bisa kupetik dari perjalanan ini. Seperti sudah kutuliskan pada tulisanku sebelumnya, aku dan beberapa sahabat mengunjungi Jogjakarta, sebagai agenda escaping dari rutinitas sehari-hari. Tak ada niatan lain selain have fun bersama teman-teman. Aku pun awalnya tak tau menau tentang acara pelepasan lampion di Perayaan Waisak di Borobudur, niatanku hanya yah kalaupun mengunjungi Borobudur dan kebetulan ada bisa melihat 1000 lampion yang kabarnya indah tersebut. Sama sekali tak ada niatanku untuk menghadiri perayaan umat lain, apalagi mengganggunya.

Sabtu pagi kami isi dengan sarapan pagi nasi gudeg di Malioboro. Daniel mengisi sarapan dengan bercerita kembali pengalamannya di Rio de Janeiro, Brazil. *OOT* Just FYI, ternyata presiden Brazil concern banget terhadap masalah kelaparan yang melanda negeri. Pemerintah Brazil punya program “Zero Hunger” dan ini efektif banget. Saat ini hanya tinggal sedikit rakyat Brazil yang masih dilanda kelaparan. Kata Daniel, kalo kamu tinggal di rumah Brazil, kamu akan disuguhi berbagai macam makanan mulai dari biji-bijian, sayur, roti, daging, dll yang sangat melimpah ruah sehingga kamu nggak akan kelaparan. Katanya juga, kalo berjalan di jalanan di Rio, kamu akan melihat pemandangan indah wkwkwk (maksudnya ceweknya cantik2 kayak J.Lo n cowoknya ganteng2 kayak Ricky Martin semua wkwkk)

Singkat cerita, ada satu orang teman juga yang join bareng di Trip ini. Jreng2 datanglah Prima, alumni IAAS juga yang ternyata juga berada di Jogjakarta. Finally, mulailah perjalanan kami siang itu ke Magelang.

Sudah sejak siang hari Borobudur sangat padat dikunjungi berbagai turis lokal dan mancanegara. Aku pun menemui beberapa wajah yang dikenal namun malas menyapa hehehe, ternyata memang banyak sekali pengunjung Borobudur hari itu. Masih di siang hari sekitar pukul 14.30, rombongan para biksu, biksuni dan biksu muda datang setelah prosesi dari candi mendut. Seketika, awak media dan pengunjung mengabadikan momen tersebut. Para biksu pun memasuki altar utama, memasang “Api suci” dan mulai berdoa pada sang Buddha. Media massa berebut berkerumun mendekati altar. Aku yang polos dan juga kepanasan tidak begitu berminat dan ingin tau apa yang terjadi. Karena sesungguhnya di depan altar utama, telah terbentang luas karpet Kuning bagi para Buddhist untuk sembahyang. Melihat mereka sembahyang sementara didepan mereka wara wiri orang-orang lalu lalang (wartawan, rombongan anak muda dll), aku jadi membayangkan: seandainya saja ini ibadah muslim, misalnya saja Sholat Id di Istiqlal, pantaskah ada orang-orang yang lalu lalang didepan mereka kala mereka berdoa khusyuk kepada Tuhannya? Mungkin ini seharusnya evaluasi bagi panitia agar membatasi dengan jelas area mana yang seharusnya hanya privasi kaum Buddhist.

Banyak Turis dan wartawan asing yang meliput acara ini. Yap, this is because Borobudur is the biggest Buddhist temple in the world! Ada beberapa pria asing yang membincangkan tentang ritual ini dan juga membincangkan posisi “Pangeran Sidharta Gautama” bagi penganut Buddha, posisi “Jesus” bagi kaum Kristiani dan Posisi “Muhammad” bagi Muslim. Hmm… pembicaraan yang menarik. Namun aku hanya menguping sedikit saja hehehe..

Cuaca mendung-mendung terik sejak siang hari dan ternyata berdampak dalam pada malam harinya. Acara utama waisak rencananya akan dihadiri oleh Menteri Agama dan Gubernur Jawa Tengah, seharusnya dimulai pukul 7 malam dan ditutup dengan pelepasan 1000 buah lampion yang “kabarnya” ditunggu-tunggu oleh kaum non-buddhis yang hadir di area tsb. Banyak rombongan kaum muda yang “sok kece” dengan kamera SLR-mereka, pasangan kaum muda mudi pula yang banyak canda tawa, anak-anak remaja dan segenap non-buddhis lain tumpah ruah memenuhi areal Candi Borobudur. Borobudur terlihat indah, gemerlap cahaya dan bulan purnama menambah indah keeksotisan candi tersebut.

Kedatangan Menteri Agama yang telat, ditambah dengan hujan yang sangat deras, menambah daftar kekecewaan pengunjung yang hadir. Mereka berteriak “Huuu” dan menyoraki Menteri Agama saat beliau hendak berpidato. Well, ada beberapa kritikan untuk bapak Menteri terkait kondisi ini:

1. Sebaiknya bapak meminta maaf sebelum memulai pidato

2. Sebaiknya bapak menteri berinisiatif dengan memendekkan isi pidatonya karena cuaca dan keadaan sekitar sudah tidak mendukung

Bagi kaum muda, plis.. apapun yg terjadi keep positive thinking dan hormatilah pemimpin kamu. Because we actually didn’t know what happened before.. Kalau mau kritik seorang pemimpin jangan dihadapan khalayak umum.

Sambutan menteri agama dilanjutkan dengan sambutan Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit Waluyo. Miris, sambutan ini benar-benar tidak ada hubungannya dengan perayaan waisak. Bapak Gubernur justru terkesan “sibuk berkampanye” karena keesokan harinya aka nada pilgub Jateng. Dear Sir, it wasn’t proper time to do campaign. You’ve been watched by ppl of the world while delivering speech there…

Perayaan waisak pun dilanjutkan dengan ritual-ritual kamu Buddha, sayangnya agenda ini rusak akibat ulah-ulah “kaum non buddhis” yang norak dan ingin berfot-foto ria, mungkin ingin aplat aplot foto di social media mereka. Suasana riweuh dan ricuh. Para biksu menaggapinya masih dengan hati yang hangat. Mereka memang tidak marah, hanya saja ulah “kaum non buddhis” tsb merusak ketentraman dan keleluasaan ibadah umat Buddha. Aku hanya menatap dari balik hujan. Ditengah-tengah hujan dan kerumunan tersebut, ada beberapa umat Buddha yang khusyuk berdoa. Akhirnya aku dan teman-teman sepakat menyudahi melihat acara ini. Well, sebenarnya aku merasa bersalah juga, karena kupikir aku hanyalah akan “by accidence” melihat peristiwa itu dan bukan terlihat sebagai hadirin yang menghadiri perayaan waisak. Hmmh.. Smoga Tuhan mengampuni dosaku..

Umat Buddha masih melakukan ritual mengelilingi Borobudur 3 kali dan setelahnya aku tau bahwa Tidak ada Lampion yang dilepaskan karena hujan. Aku bahkan juga tak sempat bertemu dengan temanku yang mungkin sedang beribadah. Hanya saja aku mengambil beberapa pelajaran dari kejadian ini:

1. Umat Buddha, sebagai kaum minoritas di Indonesia, apakah pantas ritual ibadah mereka dipertontonkan dan terkesan seperti Pertunjukkan? Aku rasa mereka juga berhak mendapat privasi terhadap ibadah mereka.

2. Evaluasi untuk Pemerintah: sebaiknya dikaji apakah perayaan umat beragama boleh dibuka untuk umum? Taj mahal dan Angkor wat saja ditutup saat ada ibadah di tempat tersebut

3. Menurutku, Eksotisme sebuah kaum minoritas bukanlah objek daya tarik dalam kepariwisataan. Apakah berfoto bersama dengan biksu merupakan sebuah daya tarik? Bahkan di China saja, Biksu sudah tereksploitasi dan dikenakan bayaran jika ingin berfoto bersama. IMO, pandangan seperti ini hanya akan menodai dan melukai umat agam tersebut. Entah agama apapun


Sekian untuk evaluasinya

Salam damai dari seorang Muslim..

1 komentar: