Selasa, 10 Mei 2011

Edit

Kali ini Mengenai Sebuah Pernikahan



Kali ini saya ingin menulis tentang sebuah pernikahan. Bukan. Tulisan ini bukan dilatarbelakangi oleh “Sindrom 22” atau karena banyaknya undangan pernikahan akhir2 ini, melainkan terdorong oleh curahan hati saya mengenai sebuah pengalaman.

Menurut teman2, apa itu sebuah pernikahan? Kalau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan hukum Al-Qur’an (Q.S. 24-An Nuur : 32) "Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan." Dengan tujuan pernikahan tercantum dalam Q.S. 30-An Ruum : 21, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

Pernikahan adalah sesuatu hal yg baik. Sesuatu hal yang menghalalkan segala aktivitas yang dilakukan sepasang manusia berbeda lawan jenis yang sebelumnya bukan mahramnya. Banyak cara yang dilakukan oleh manusia sebelum melakukan pernikahan. Ya, tentu saja ini harus dilakukan untuk saling atau lebih mengenal pasangan masing2, bukan? Namun pertanyaannya adalah cara seperti apa –tentu berdasarkan Islam– yang seharusnya pasangan tersebut jalankan sebelum pernikahan mereka? Apakah dengan “kecelakaan” seperti di sinetron2?? Atau dengan jalan pacaran seperti di FTV2? Atau ada yang menyebut “PACARAN ISLAMI” seperti di sinetron2 berkedok ‘Islami’? atau... Hubungan tanpa status yang notabene sama saja aktivitasnya dengan pacaran? Atau… Ta’aruf seperti di film2 dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy? Ta’aruf seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah? Silahkan baca sendiri dalam Siroh (Sejarah Rasul) karena saya masih belum pantas menceritakannya (berhubung belum pernah juga, hehe) Hmm… yang pasti banyak yah, tinggal manusianya sendiri yang menentukan dia mau melalui jalan yang mana.

Jalan menuju Jodoh memang berliku. Ups, sok tau banget ya saya yang masih kecil ini ngomong2 ttg Jodoh. Gak pa-pa lah ya.. hihi.. Lanjut.. Ya, jalan menuju pernikahan bagi tiap manusia pasti berbeda2.. ada jalan yang benar, ada jalan yang salah. Dan setiap manusia pasti memiliki kesalahan. Saya ulangi, dan setiap manusia pasti memiliki kesalahan.

Bagi sesama Muslim yang paham akan pentingnya dakwah bagi umat maka jalan menuju pernikahan pun seharusnya juga sangat diperhatikan. Katakanlah dalam objek tulisan ini sebuah kaum yang memahami pentingnya berdakwah dan mari kita sebut mereka dengan istilah aktivis dakwah (AD). Tugas AD pada dasarnya sangat bergengsi. Mereka mengemban tugas yang sama dengan para Nabi dahulu, menyampaikan Risalah dari ALLAH, Tuhan Semesta Alam. Rasulullah, Nabi2 dan AD semua sama2 manusia. Manusia adalah sebuah makhluk dan PASTI pernah melakukan kesalahan. Bedanya, kesalahan Rasul dan manusia biasa jelas Tak sama. Jika AD mengikuti cara Rasul dalam mengemban dakwah, itu seharusnya berbanding lurus dengan cara AD memilih jalan menuju pernikahan.

Katakanlah sebuah kisah sepasang AD (ambil contoh dari beberapa kasus) yang mengambil jalan pernikahan yang salah. Kita tau itu salah karena benar2 tidak sesuai dengan hukum Islam. Dari lika-liku perjalanan sepasang AD tsb. memang sudah berulangkali saudara2nya memperingati agar mereka terhindar dari fitnah, sudah berulang kali dan usaha ini termasuk maksimal meski ternyata hanya Allah yang tahu bagaimana perjalanan mereka sampai akhirnya berlabuh pada sebuah amal kebaikan, yakni sebuah pernikahan. Lantas, apakah karena kesalahan mereka sebelumnya kita berhak mengucilkannya dengan tidak memenuhi sebuah undangan kebaikan dari mereka dan melarang orang lain memenuhinya? Apakah kita –yang juga seorang manusia biasa– pantas melakukan hal tersebut? Allah saat itu telah menunjukkan kebesaran-Nya dengan membuka aib mereka di hadapan kita, sebagai saudara sesama Muslim mereka. Kita, manusia, masing2 punya aib dan beruntunglah bagi mereka yang aibnya masih dirahasiakan oleh ALLAH. Tidakkah ini pelajaran yang amat sangat berharga buat kita?

Oke, katakanlah karena itu merupakan sebuah bentuk ijtihad dan hukuman karena mereka adalah AD yang paham terhadap aturan2 jamaah namun apa bedanya dengan undangan dari teman2 kita yang melalui jalan2 yang berbeda menuju pernikahan mereka (dalam artian pacaran, HTS, dll yang notabene TIDAK DIBENARKAN dalam Islam)? Apakah harus kita telusuri satu persatu jalan mereka benar atau tidak?

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Apabila seseorang di antara kalian diundang untuk menghadiri walimatul ’ursy (resepsi pernikahan), penuhilah.” (HR. Muslim) dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, ”Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah/pernikahan, sungguh dia telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim). Dari dua hadits ini terlihat jelas bahwasanya hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib, jika memenuhi 3 syarat di atas. Apabila yang mengundang adalah seorang muslim, namun dia terang-terangan dalam berbuat maksiat (fasik) seperti mencukur jenggot, merokok di muka umum atau melakukan bentuk kemaksiatan yang lain, maka memenuhi undangan dari orang semacam ini tidaklah wajib.

Akan tetapi, jika dalam memenuhi undangan tersebut terdapat maslahat (manfaat), maka boleh menghadirinya. Sedangkan apabila dalam memenuhi undangan tersebut tidak terdapat maslahat, maka perlu dipertimbangkan lagi, yaitu bisa memilih untuk datang atau tidak. Jika dia melihat dirinya mampu untuk tidak menghadiri undangan tersebut kemudian ketidakhadirannya ini dapat menimbulkan maslahat yaitu orang lain malah ikut tidak memenuhi undangan si pengundang yang fasik ini sehingga si pengundang kemudian bertaubat dari maksiat yang dia lakukan, maka tidak mengapa (tidak wajib) dia tidak memenuhi undangan dari orang semacam ini. Semoga Allah memberi petunjuk padanya. (Syarh Riyadhus Sholihin). [Ust. Zaid, Lc http://muslim.or.id/2007/07/09/hukum-memenuhi-undangan/]

Saudaraku, jika seseorang mengundangmu ke rumahnya untuk makan bersama atau engkau diajak untuk membantunya dalam suatu perkara, maka penuhilah. Karena hal ini akan membuat senang orang yang mengundang dan akan lebih mempererat ukhuwah dan kasih sayang sesama muslim. Bersyukurlah, jika saudaramu yang sebelumnya melakukan kesalahan sebelum pernikahan mereka namun pada akhirnya mengakhirinya dengan sebuah pernikahan maka bersyukurlah. Bersyukurlah karena mereka justru berlabuh pada sebuah amal kebaikan, sebuah amal yang diibaratkan Rasul sebagai amalan “setengah agama”, half of dien. Ya Allah, kami meminta pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi terhadap apa-apa yang kita lakukan. Amin Yaa Mujibad Da’awaat. Sebuah renungan.

1 komentar: