Rabu, 22 Oktober 2014

Edit

Cerita Anas bin Malik tentangnya…


“Ada dua hari dalam hidupku yang tak pernah terlupa sepanjang hayat..”  ujar Anas bin Malik mengawali kisahnya. (yang belum mengenal Anas bin Malik siapa silakan refer to this link dulu)

“Dua hari yang selalu kukenang dengan gejolak rasa yang luar biasa, hari yang satu kukenang dengan kebahagiaan tak terkira dan yang kedua dengan kesedihan tak terhingga..” sejenak Anas terdiam, menghembuskan nafasnya perlahan sementara para tabi’in yang mendengarkan dengan penuh khusyu’ menanti dengan tak sabar..

Hari yang pertama adalah satu hari kala aku berlarian menuju jalanan itu, jalan masuk kota Yatsrib. Usiaku kala itu sekitar 10 tahun dan aku bersama berpuluh-puluh anak sebayaku tanpa menghiraukan keringat yang bercucuran di badan kami dan terik matahari yang menyengat kepala, kami menerobos kumpulan besar itu, kelompok laki-laki dewasa, yang berdiri di sepanjang jalan, menantikan kedatangan seseorang…

Memang sejak beberapa hari sebelum hari itu kabar akan kedatangannya kami dengar, hingga kami pun menanti di sepanjang hari dan pulang di sore hari karena dia tak kunjung tiba juga, dengan harapan esok hari ia akan sungguh-sungguh datang..

….dan inilah harinya, tampak dari kejauhan dua ekor unta berjalan beriringan dan entah mengapa semakin dekat keduanya hatiku semakin gemetar, senyumku semakin lebar, dan mataku nyaris tak kuizinkan berkedip agar tak kehilangan bahkan bayangan untanya sekalipun..

Itulah dia.. berdampingan dengan sahabatnya, As-Sidiq, tersenyum penuh arti kepada kami yang menatapnya penuh rindu..
Itulah dia.. yang namanya selalu membasahi bibir ibuku (Ummu Sulaim) tiap waktu.

“dia mengajarkan kita berbuat begini, anas.. dia mengajarkan kita meninggalkan ini, anas..” suara ibuku kala menyebut namanya kembali terngiang di telingaku.

Ya kawan! Dia adalah Nabi Muhammad..

Untuk pertama kalinya wajah indahnya kupandang, dan kalian tahu? Aku dengan pikiran kecilku kala itu seraya memandang wajahnya berfikir, aku dengannya ingin selalu bersama.

Dan begitulah waktu pun berlalu hingga suatu hari ibuku membawaku padanya setelah bertanya padaku dan kujawab dengan iya..

“Wahai Rasulullah, kulihat semua orang baik laki-laki maupun perempuan menghadiahkan sesuatu untukmu dan aku pun ingin melakukannya, aku ingin memberikan padamu sesuatu yang berharga. Dan karena yang paling berharga dan kucinta yang kumiliki adalah anakku Anas, maka aku hadiahkan ia padamu Ya Rasulullah.. ajaklah ia pergi berperang jika kau mau, atau perintahkan padanya apapun, ia aku serahkan sepenuhnya untukmu..”

Mulai hari itu, tinggallah aku di rumah Rasulullah SAW, membersihkan rumahnya, mencucikan piringnya dan melayani kebutuhannya.

Dan tahukan kalian, kawan?

Meski tampaknya aku melayaninya, pada kenyataannya dialah yang banyak memberi padaku. Dia mengajarkanku semuanya, dia memperlakukan aku sebagai anaknya, 10 tahun aku bersamanya sejak kedatangannya hingga wafatnya tak sekalipun kudengar ia memarahiku, dan tak sekalipun dia berkata sesuatu yang aku kerjakan maupun yang tidak aku kerjakan “mengapa engkau melakukannya wahai anas??”

Sekali dalam masa baktiku padanya dia menegurku dan itu adalah tatkala dia memintaku untuk menyampaikan sesuatu kepada seorang sahabatnya, dan dia memintaku untuk segera melakukannya, aku pun menyanggupinya, bahkan karena ingin segera menyampaikan hajatnya, akupun berlari menuju rumah orang tersebut.

Namun kelelahan berlari, aku pun mulai berjalan dan semakin pelan, hingga aku melihat segerombolan anak-anak sebayaku yang tengah bermain. Rasa penasaran membuatku menerobos mereka dan sebuah permainan menarik membuatku ikut bergabung menyaksikannya hingga lupalah aku akan perintahnya…

Entah telah berapa lama aku berada disana ketika kurasakan tangan seseorang menutup mataku dari belakang, tangan yang begitu kukenal, tangan yang wanginya mengingatkanku pada perintahnya yang aku lalaikan.

Maka dengan penuh perasaan bersalah akupun menoleh ke belakang, bersiap mendapatkan kemarahan akibat keteledoran, atau setidaknya teguran atas keterlambatan,

Namun lihatlah dia… senyumnya mengembang, tak ada kekesalan apalagi kemarahan. Yang ada hanyalah satu kalimat kecil terucap indah dari lisannya…
“ainal washi ya anas? Ainal washi ya anas?” (mana yang aku perintahkan wahai anas?)

Maka akupun segera berlari melaksanakan tugasku..

Begitu banyak pelajaran yang telah ia berikan padaku: ilmu, adab, kebijaksanaan, hikmah, pengetahuan, doa, ibadah, kebaikan menjadikanku yang ketiga dari periwayat hadits-hadits nya yang terbanyak sesudah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.

Salah satu Nasehatnya padaku, “Wahai anakku, jika kau bisa untuk sejak terjaga di pagi hingga malam menjelang dan di hatimu tidak terdapat kebencian terhadap saudaramu seiman, maka lakukanlah.. waha anakku, ini adalah sunnahku, dan menghidupkan sunnahku berarti mencintaiku, mencintaiku berarti bersama denganku di Surga-Nya…”

Hening…

Anas mengakhiri kisah pertamanya dan memulai menceritakan kisah hari keduanya..

“Dan hari yang kedua adalah hari dimana kami tengah mengerjakan sholat dhuhur berjamaah kala itu, namun mendung menggelayut kota Madinah dan hati-hati kami, karena kami telah beberapa hari ini tak diimami oleh Rasulullah lagi..

Dia yang tengah sakit kala itu mewakilkan pengimaman sholatnya kepada Abu Bakar, sahabat terdekatnya. Namun tiba-tiba beliau menyingkap tabir (pintu batas antara rumah Rasul dan Masjid yang bersambungan) dan masuk ke dalam masjid, membuat kami spontan keluar dari sholat kami dan ingin mendekatinya, Abu Bakar memerintahkan kami untuk tetap diam di tempat.

Rasulullah lantas maju ke depan mengimami kami sholat dan memerintahkan Abu Bakar untuk tetap berada di mihrab imam sejengkal saja di belakangnya. Suara takbirnya kala itu sudah sangat lemah dan tak terdengar hingga Abu Bakarlah mengulanginya dan memperdengarkan gerakan sholat kepada kami.

Dan kami tak pernah menyangka bahwa itu adalah sholat terakhir kami dengannya bahkan pertemuan kami terakhir, di akhir siang beliau meninggalkan kami, bertemu dengan Tuhan yang telah mengutusnya…

Tak pernah kulihat banjir airmata lebih banyak dari hari itu, tak pernah kulihat kesuraman lebih mengenaskan dari waktu itu, tak pernah kurasakan kesedihan dan kepedihan lebih nyata daripada hari itu.

Kami berkabung, kami berduka, kami tak lagi bisa menikmati hidup di dunia, mendung hati kami tak jua beranjak, menggelayuti sisa hidup kami dan satu-satunya hari yang kami nantikan sesudah hari itu adalah… hari pertemuan kami dengannya…

Dan aku.. hari yang paling kunantikan adalah satu hari dimana aku akan datang padanya seraya berkata…

“Aku adakah pelayan kecilmu Anas, Yaa Rasulullah…”

Dan tangis Anas pun meledak.. mengakhiri kisahnya, kerinduannya kepada Nabi Muhamad tak mampu lagi dibendungnya..


-Disalin ulang dari buku Tutur Hati karya Halimah Alaydrus-

1 komentar: