Selasa, 25 Februari 2014

Edit

Penjaja Cinta: Tak ada Pilihan Lain?


Semalam saya menonton tayangan “Bukan Empat Mata”  bertemakan penjaja cinta.

Tema yang klise dan selalu menarik untuk diangkat, terutama ya karena Tukul menghadirkan pembicara yang merupakan pelaku tindakan tersebut. Ohya, saya nonton acara ini sih sekilas saja dan tidak menonton dari awal hingga akhir. Hanya ada beberapa opini setelah menonton tayangan ini.

Adalah dua orang wanita sebut saja Biola (ayam kampus) dan Gitar (PSK di gang Dolly Surabaya). Inti dari pembicaraan mereka berdua adalah… Mereka tidak punya pilihan lain meski mereka merasa sedih melakukan pekerjaan yang mereka lakukaan saat ini. Sedih, iya. Hancur? Pasti. Namun mereka bilang mereka terjerumus dan tak tahu arah kembali.

Terlepas dari norma agama apapun, sebagai seorang perempuan saya juga sedih melihat dan mendengarnya. Bahkan, jika tak percaya pada Tuhan, mungkin kita bisa menyalahkan kenapa ada takdir yang sebegitu kejamnya. Latar belakang mengapa mereka terjerumus terhadap pekerjaan ini pun cukup tragis. Biola mengaku bahwa keluarganya punya hutang-hutang akibat ibunya sakit, selain ia juga ingin bergaya seperti teman-temannya. Gitar mengaku bahwa sulit hidup sebagai seorang janda dengan dua orang anak. Dan ketika berniat menikah kembali, Gitar mengalami kekerasan dari calonnya tsb. Ironi memang. Tapi apakah benar tidak ada pilihan lain??

Ah, saya memang seorang yang sungguh sangat beruntung. Benar-benar beruntung sebagai seorang perempuan dan benar-benar bersyukur terhadap hidup saya ini -sehingga mungkin saya tidak mengerti apa maksud mereka “tidak ada pilihan lain” tersebut.

Akan tetapi menurut saya, pendekatan interview terhadap Biola dan Gitar dalam reality show yang terbuka tsb sepertinya kurang baik dari sisi psikologis. Seperti biasa, acara reality show ini menyisipkan selentingan2 lawakan yang menurut saya kurang pas untuk tema seperti ini sehingga terkesan melecehkan sang narasumber (terlepas dari narasumber nrimo atau tidak karena kedatangan mereka juga pasti dibalas imbalan)

Saya tidak mengerti psikologi, tapi bagi anak-anak seperti Biola, pendekatan yang seharusnya sebaiknya tidak langsung memberitahunya/menasehati tentang norma-norma agama.

“Ih dosa loh Biola kamu kayak gini?”

“Kamu nggak takut masuk neraka, Biola?”

Atau semacamnya. Tidak akan berhasil bagi mereka. Pergaulan di lingkungan mereka akan memaksa  mereka berpikir bahwa “agamalah yang membrainwashed sebuah pemikiran bahwa melakukan hubungan seks adalah dosa”. Sehingga baiknya dilakukan pendekatan yang lain dari sisi humanis..

Tapi saya sungguh tidak paham, siapa yang harus memulai. Orangtuanya kah? Yang harus aware terhadap anak-anak gadisnya? Orang terdekatkah? Atau siapa? Bahkan saya tidak melakukan apa-apa…

Maaf..

Saya hanya seorang penonton…

1 komentar: