“Ada
dua hari dalam hidupku yang tak pernah terlupa sepanjang hayat..” ujar Anas bin Malik mengawali kisahnya. (yang
belum mengenal Anas bin Malik siapa silakan refer to this link dulu)
“Dua
hari yang selalu kukenang dengan gejolak rasa yang luar biasa, hari yang satu
kukenang dengan kebahagiaan tak terkira dan yang kedua dengan kesedihan tak
terhingga..” sejenak Anas terdiam, menghembuskan nafasnya perlahan sementara
para tabi’in yang mendengarkan dengan penuh khusyu’ menanti dengan tak sabar..
Hari
yang pertama adalah satu hari kala aku berlarian menuju jalanan itu, jalan
masuk kota Yatsrib. Usiaku kala itu sekitar 10 tahun dan aku bersama
berpuluh-puluh anak sebayaku tanpa menghiraukan keringat yang bercucuran di
badan kami dan terik matahari yang menyengat kepala, kami menerobos kumpulan
besar itu, kelompok laki-laki dewasa, yang berdiri di sepanjang jalan,
menantikan kedatangan seseorang…
Memang
sejak beberapa hari sebelum hari itu kabar akan kedatangannya kami dengar,
hingga kami pun menanti di sepanjang hari dan pulang di sore hari karena dia
tak kunjung tiba juga, dengan harapan esok hari ia akan sungguh-sungguh
datang..
….dan
inilah harinya, tampak dari kejauhan dua ekor unta berjalan beriringan dan
entah mengapa semakin dekat keduanya hatiku semakin gemetar, senyumku semakin
lebar, dan mataku nyaris tak kuizinkan berkedip agar tak kehilangan bahkan
bayangan untanya sekalipun..
Itulah
dia.. berdampingan dengan sahabatnya, As-Sidiq, tersenyum penuh arti kepada
kami yang menatapnya penuh rindu..
Itulah
dia.. yang namanya selalu membasahi bibir ibuku (Ummu Sulaim) tiap waktu.
“dia mengajarkan kita
berbuat begini, anas.. dia mengajarkan kita meninggalkan ini, anas..” suara ibuku kala menyebut namanya
kembali terngiang di telingaku.
Ya
kawan! Dia adalah Nabi Muhammad..
Untuk
pertama kalinya wajah indahnya kupandang, dan kalian tahu? Aku dengan pikiran
kecilku kala itu seraya memandang wajahnya berfikir, aku dengannya ingin selalu
bersama.
Dan
begitulah waktu pun berlalu hingga suatu hari ibuku membawaku padanya setelah
bertanya padaku dan kujawab dengan iya..
“Wahai
Rasulullah, kulihat semua orang baik laki-laki maupun perempuan menghadiahkan
sesuatu untukmu dan aku pun ingin melakukannya, aku ingin memberikan padamu
sesuatu yang berharga. Dan karena yang paling berharga dan kucinta yang
kumiliki adalah anakku Anas, maka aku hadiahkan ia padamu Ya Rasulullah..
ajaklah ia pergi berperang jika kau mau, atau perintahkan padanya apapun, ia
aku serahkan sepenuhnya untukmu..”
Mulai
hari itu, tinggallah aku di rumah Rasulullah SAW, membersihkan rumahnya,
mencucikan piringnya dan melayani kebutuhannya.
Dan
tahukan kalian, kawan?
Meski
tampaknya aku melayaninya, pada kenyataannya dialah yang banyak memberi padaku.
Dia mengajarkanku semuanya, dia memperlakukan aku sebagai anaknya, 10 tahun aku
bersamanya sejak kedatangannya hingga wafatnya tak sekalipun kudengar ia
memarahiku, dan tak sekalipun dia berkata sesuatu yang aku kerjakan maupun yang
tidak aku kerjakan “mengapa engkau melakukannya wahai anas??”
Sekali
dalam masa baktiku padanya dia menegurku dan itu adalah tatkala dia memintaku
untuk menyampaikan sesuatu kepada seorang sahabatnya, dan dia memintaku untuk
segera melakukannya, aku pun menyanggupinya, bahkan karena ingin segera
menyampaikan hajatnya, akupun berlari menuju rumah orang tersebut.
Namun
kelelahan berlari, aku pun mulai berjalan dan semakin pelan, hingga aku melihat
segerombolan anak-anak sebayaku yang tengah bermain. Rasa penasaran membuatku
menerobos mereka dan sebuah permainan menarik membuatku ikut bergabung
menyaksikannya hingga lupalah aku akan perintahnya…
Entah
telah berapa lama aku berada disana ketika kurasakan tangan seseorang menutup
mataku dari belakang, tangan yang begitu kukenal, tangan yang wanginya mengingatkanku
pada perintahnya yang aku lalaikan.
Maka
dengan penuh perasaan bersalah akupun menoleh ke belakang, bersiap mendapatkan
kemarahan akibat keteledoran, atau setidaknya teguran atas keterlambatan,
Namun
lihatlah dia… senyumnya mengembang, tak ada kekesalan apalagi kemarahan. Yang ada
hanyalah satu kalimat kecil terucap indah dari lisannya…
“ainal washi ya anas? Ainal
washi ya anas?”
(mana yang aku perintahkan wahai anas?)
Maka
akupun segera berlari melaksanakan tugasku..
Begitu
banyak pelajaran yang telah ia berikan padaku: ilmu, adab, kebijaksanaan,
hikmah, pengetahuan, doa, ibadah, kebaikan menjadikanku yang ketiga dari
periwayat hadits-hadits nya yang terbanyak sesudah Abu Hurairah dan Abdullah
bin Umar.
Salah satu Nasehatnya padaku, “Wahai anakku, jika kau bisa untuk sejak terjaga di pagi hingga malam menjelang dan di hatimu tidak terdapat kebencian terhadap saudaramu seiman, maka lakukanlah.. waha anakku, ini adalah sunnahku, dan menghidupkan sunnahku berarti mencintaiku, mencintaiku berarti bersama denganku di Surga-Nya…”
Hening…
Anas
mengakhiri kisah pertamanya dan memulai menceritakan kisah hari keduanya..
“Dan
hari yang kedua adalah hari dimana kami tengah mengerjakan sholat dhuhur
berjamaah kala itu, namun mendung menggelayut kota Madinah dan hati-hati kami,
karena kami telah beberapa hari ini tak diimami oleh Rasulullah lagi..
Dia
yang tengah sakit kala itu mewakilkan pengimaman sholatnya kepada Abu Bakar,
sahabat terdekatnya. Namun tiba-tiba beliau menyingkap tabir (pintu batas
antara rumah Rasul dan Masjid yang bersambungan) dan masuk ke dalam masjid,
membuat kami spontan keluar dari sholat kami dan ingin mendekatinya, Abu Bakar
memerintahkan kami untuk tetap diam di tempat.
Rasulullah
lantas maju ke depan mengimami kami sholat dan memerintahkan Abu Bakar untuk
tetap berada di mihrab imam sejengkal saja di belakangnya. Suara takbirnya kala
itu sudah sangat lemah dan tak terdengar hingga Abu Bakarlah mengulanginya dan
memperdengarkan gerakan sholat kepada kami.
Dan
kami tak pernah menyangka bahwa itu adalah sholat terakhir kami dengannya
bahkan pertemuan kami terakhir, di akhir siang beliau meninggalkan kami,
bertemu dengan Tuhan yang telah mengutusnya…
Tak
pernah kulihat banjir airmata lebih banyak dari hari itu, tak pernah kulihat
kesuraman lebih mengenaskan dari waktu itu, tak pernah kurasakan kesedihan dan
kepedihan lebih nyata daripada hari itu.
Kami
berkabung, kami berduka, kami tak lagi bisa menikmati hidup di dunia, mendung
hati kami tak jua beranjak, menggelayuti sisa hidup kami dan satu-satunya hari
yang kami nantikan sesudah hari itu adalah… hari pertemuan kami dengannya…
Dan
aku.. hari yang paling kunantikan adalah satu hari dimana aku akan datang
padanya seraya berkata…
“Aku
adakah pelayan kecilmu Anas, Yaa Rasulullah…”
Dan
tangis Anas pun meledak.. mengakhiri kisahnya, kerinduannya kepada Nabi Muhamad
tak mampu lagi dibendungnya..
-Disalin ulang dari
buku Tutur Hati karya Halimah Alaydrus-
BalasHapusviagra
viagra asli
jual viagra
toko viagra
viagra usa
viagra original
obat viagra
viagra pfizer
obat kuat viagra
obat kuat viagra asli
obat viagra asli
agen viagra
agen viagra asli
apotik viagra
apotik viagra asli
toko viagra asli
jual viagra asli
jual pil biru
toko pil biru
jual obat kuat
toko obat kuat
viagra asli pfizer
viagra asli usa
viagra asli original
viagra jakarta
viagra di jakarta
viagra asli jakarta
viagra asli di jakarta
obat kuat jakarta
obat kuat di jakarta
obat kuat asli jakarta
jual viagra jakarta
jual viagra di jakarta
toko viagra jakarta
agen viagra jakarta
apotik viagra jakarta
toko obat kuat jakarta
toko obat kuat di jakarta
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
titan gel asli
titan gel
jual titan gel
toko titan gel
obat cialis
obat kuat cialis
jual cialis
toko cialis
cialis asli
cialis jakarta
cialis asli jakarta