Sabtu, 30 April 2011

Edit

“Gw jadi yang Biasa-biasa aja deh....?”

Melihat media massa Indonesia yang saat ini sedang heboh2nya memberitakan ttg gerakan NII (Negara Islam Indonesia) dan kaitannya dengan sejumlah aksi terorisme di negeri ini, saya jadi berpikir banyak hal. Ya, yang saya tau NII bukanlah isu baru. Ini merupakan isu lama. Masuknya NII ke dunia kampus pun sudah diwaspadai oleh kampus2 sejak lama, kampus2 ini menyadari pentingnya peran penjagaan terhadap mahasiswa2 baru agar tidak ‘terkontaminasi’ hal-hal negatif. Jadi sebenarnya NII bukanlah hal yang patut untuk dibesar2kan.

NII merupakan sebuah gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam sebagai pondasi hukum mereka. Tentu, saya tidak tahu banyak tentang mereka. Saya hanya tahu info ttg NII dari media massa dan dari kisah beberapa orang yang saya kenal yang pernah mengalami cara2 perekrutan mereka. Dampak dari perekrutan ini banyak sekali. Salah diantaranya yang paling menonjol adalah hilangnya mahasiswa/mahasiswi kampus tanpa alasan yang jelas. Bahkan pemberitaan seperti ini mampu mendorong ibu saya yang jarang sekali menelpon saya menjadi menelpon saya dan menasehati saya untuk tidak ikut macam2 di kampus alias jangan sampai terjerat aliran ‘sesat’. Ternyata tidak hanya saya, teman2 lain pun bernasib sama. Orangtua mereka juga khawatir tentang pergaulan anak mereka di kampus. Wajar, namanya juga orangtua bukan?

Seiring dengan pemberitaan tersebut, saya semakin berpikir kearah lain. Dampak positif dari pemberitaan bombastis ttg NII ini mungkin orangtua menjadi lebih peduli terhadap anaknya. Namun dampak negatifnya adalah masyarakat menjadi ‘takut’ dalam artian menjadi sangat-sangat dan sangat waspada dalam mempelajari Islam. Mereka menjadi takut dengan istilah “Ngaji”. Apakah itu benar? Atau hanya perasaan saya saja? Saya rasa tidak. Mari kita sama2 telaah lebih lanjut.

Islam, sebagaimana kita tahu merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Namun ini bukan masalah siapa mayoritas dan siapa minoritas. Sebagai umat muslim, mempelajari agama Islam adalah sebuah kewajiban. Banyak hal yang dapat ditempuh untuk mempelajari agama Islam. Salah satunya adalah mengaji. Menurut saya saat ini mengaji telah mengalami penyempitan makna. Mengaji memiliki kata dasar “Kaji” yang menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah 1) pelajaran (agama dsb); 2) penyelidikan (tt sesuatu). Mengaji bukanlah hanya mengaji Al-Qur’an saja tapi juga menelaah isi kandungan Al-Qur’an. Tentu dengan cara yg sesuai dengan prosedur telaah. Jangan sampai menyimpang.

Pemberitaan bombastis ttg gerakan radikalisme mengatasnamakan Islam banyak membuat para orangtua resah dan khawatir akan anaknya jika mereka ikut bermacam2 kegiatan berbasiskan keagamaan. Tak hanya itu, para mahasiswa pun menjadi cenderung apatis terhadap agama mereka. Yang tadinya cuek jadi tambah cuek, yang tadinya ingin mendalami Islam menjadi membatasi diri. Mereka banyak yang lebih memilih “Islam yang biasa”. Mungkin, menurut pandangan mereka masyarakat Muslim ini terbagi2 dalam beberapa kelompok. Ada kelompok radikal, kelompok fanatik, kelompok umum. Bahkan banyak juga saudara2 muslim yang cenderung memilih “Gw yang biasa-biasa aja deh”. Memangnya ada Islam yang biasa? Seperti apa? Memang ada Islam yang tidak biasa? Islam yang luar biasa memang ada. It is because Islam is a logic. That’s what I thought and it is true.

Islam dan Al-Qur’an tak bisa dipisahkan. Dalam Al-Qur;an tidak ada Islam radikal, fanatik ataupun Islam biasa. Semua satu, Islam. Satu2nya agama di sisi Allah SWT (Q.S Ali-Imran: 19). Lalu, apa yang menyebabkan masyarakat berpikir kearah tersebut? Menurut saya ini karena masyarakat muslim Indonesia saat ini belum memahami agama mereka seutuhnya. (ini bukan berarti saya menyatakan diri telah memahami agama saya seutuhnya ya). Dalam artian, masyarakat cenderung masih memisahkan antara kehidupan beragama dan kehidupan dunia. Sholat ya sholat, ngaji ya ngaji, kerja ya kerja, semua berbeda. Padahal Islam dan kehidupan harus saling bersatu. Islam is the way of life.

Berkenaan dengan berbagai isu radikalisme yang menyebabkan terjadinya pembatasan diri dalam pembelajaran dan pendalaman agama Islam, berdampak pada pemahaman masyarakat Islam itu sendiri. Pemahaman menjadi parsial dan tidak menyeluruh. Hal ini merupakan salah satu ancaman dari pihak-pihak yang menginginkan masyarakat muslim menjadi asing dengan agamanya sendiri. Bagaimana solusinya agar kaum muslimin bisa mengenal agamanya sendiri? Kita lanjut pada diskusi berikutnya ya! Smile :)

>>to be continued

Related Posts:

  • 17 Ramadan & Perang Badar Malam ini malam ke-17 Ramadan. If I'm not mistaken. hehe   Perang badar terjadi pada tanggal 17 Ramadan. pasukan Muslim yang mengikuti perang ada 313 orang. Rasul bingung dan menangis, karena cuma ada 313 ora… Read More
  • "Anta fii jannah..." Bagaimana rasanya apabila dikabarkan kepadamu bahwa suatu hari nanti engkau akan masuk Surga tanpa suatu jaminan apapun? tentu senang bukan kepalang. apalagi jika yang memberi kabar kepadamu adalah seseorang yang ucapan… Read More
  • Tak Perlu.. Saya rasa tak perlulah Tuhan menjelma menjadi dalam bentuk manusia, turun ke Bumi dari singgasanaNya supaya manusia2 lain meniru akhlak yang diinginkan-Nya. Saya rasa tak perlulah Tuhan merendahkan diri-Nya dalam bentuk… Read More
  • Tentang Abu Bakar Radiyallahu 'anhu Masih tentang Abu Bakar.. Sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan rasa cinta abu bakar kepada Muhammad Rasulullah. Rasa cintanya bagaikan rasa cinta seorang kekasih kepada kekasihnya.. lihat saja pengorbanan ya… Read More
  • The Book Alqur’an adalah petunjuk masa depan. Sebagaimana pertama kali alqur’an diturunkan, alquran bukanlah berbentuk sebuah buku, bukan juga lembaran-lembaran.. melainkan hanya sebuah untaian kata-kata yang diserap Muhammad da… Read More

3 komentar:

  1. Wah iya ka bener kadang juga jadi parno sendiri...
    Berita kayak gini juga jadi menjelekkan nama Islam.

    ^_^ follow back ya ka

    BalasHapus
  2. Ya,gw sepakat kalo agama ga pake istilah radikal, moderat, atau apa....tp dalam prakteknya, ada beberapa pemahaman yg berbeda, sama halnya seperti adanya 4 madzhab yang kita kenal... sangat manusiawi jika pemahaman umat itu sangat beragam, makanya harus ada Imam atau 'ulama yg dijadikan panutan, pemahaman ulama pun ada beberapa hal kecil yg berbeda2...untuk itu, perbedaan ini diakomodasi oleh yg namanya pemerintah (melalui kementerian agama)... Mari kita bersama waspada trhadap pemahaman yg tidak relevan dgn agama-Nya.

    BalasHapus