Masih ingatkah anda kasus penganiayaan Siti Hajar oleh majikan dan kematian Muntik Hani akibat disiksa majikannya di Malaysia tahun 2009 lalu? Berbagai jenis kasus seputar TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia pada akhirnya mulai menjadi sorotan berbagai media. Seperti yang dilansir oleh Muhammad Iqbal dalam tulisannya di sebuah harian terbit di Jawa Timur, ia mengatakan bahwa tahun 2009 merupakan tahun duka bagi TKI di Malaysia. Mengapa? Pasalnya pada tahun tersebut terjadi ratusan kasus TKI di Malaysia, baik akibat penganiayaan maupun masalah-masalah lain seperti proses migrasi, deportasi, dan lain-lain.
Malaysia, negeri serumpun Indonesia, masih menjadi negara penempatan TKI terbesar di luar negeri. Berdasarkan data Kementrian Tenaga Kerja dan Transportasi Indonesia dan juga data Imigrasi Malaysia, ada dua juta TKI di Malaysia yang terdiri atas 1,2 juta TKI legal dan 800.000 ilegal telah bermukim Di Malaysia sampai dengan tahun 2007-2008.
Sebenarnya apa yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan pemasalahan TKI ini? Dalam waktu satu tahun, KBRI Kuala Lumpur harus menampung sekitar 1.000 kasus TKI yang lari dari majikan dan sekitar 600 kasus kematian TKI di Malaysia. Itu belum termasuk data di keempat Konsulat Jenderal RI di Penang, Johor Bahru, Kota Kinabalu, dan Kuching yang juga menerima kasus-kasus yang sama terkait permasalahan TKI. Selain itu, jumlah pekerja migran yang berangkat melalui jalur tidak resmi (ilegal) diperkirakan melampaui jumlah pekerja migran yang melalui jalur resmi. Namun faktanya, sektor TKI yang menyumbang pendapatan devisa Indonesia kedua terbesar, yakni mencapai 2,4 miliar dolar per tahunnya, banyak di antara “pahlawan devisa” ini yang mengalami eksploitasi dan penganiayaan di sepanjang proses migrasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Berdasarkan fakta tersebut, tidak seharusnya permasalahan TKI disampingkan, baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang berkepentingan dan bahkan bukan apresiasi yang didapat oleh TKI di Malaysia melainkan praktek penghinaan martabat negeri.
Bagaimana tidak disebut praktek penghinaan martabat negeri jika ratusan kasus terjadi setiap tahunnya dan terus menerus terjadi tanpa adanya perbaikan kontinyu? Tahun 2007 saja KBRI di Malaysia menangani 973 kasus TKI yang gajinya belum dibayar majikan dengan nilai Rp3.043.485.120,00. Kemudian pada 2008 sebanyak 854 kasus dengan tunggakan majikan senilai Rp3.500.672.651,00. Lalu pada 2009 terdapat 911 kasus dengan nilai tunggakan Rp4.255.164.082,00.
Permasalahan lain yang terjadi di dalam negeri sendiri adalah belum adanya Human Labour Quality Assurance System, dalam hal ini saya artikan sebagai standarisasi kualitas SDM TKI secara nasional maupun di setiap daerah pengirim. Ibarat pangan, TKI adalah suatu produk pangan yang harus siap ekspor. Jika kita ingin mengekspor suatu produk pangan ke luar negeri, tentu kita harus memenuhi standar dan spesifikasi untuk bisa masuk ke market negara yang dituju, bukan? Baik dari segi materialnya, packagingnya hingga pengirimannya. Dalam hal ini pemerintah perlu membuat Standard Operation Procedure bagi TKI ke luar negeri. Memang, langkah pemerintah yang telah membentuk satgas (task force) Pemantauan Pengawasan Penempatan dan Perlindungan TKI untuk meminimalisir permasalahan TKI mulai dari persiapan pemberangkatan TKI yang dilakukan di dalam negeri dan melakukan langkah pengawasan terhadap pelaksanaan pelatihan calon TKI selama 200 jam maupun lewat pengesahan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dilakukan agar calon TKI benar-benar siap untuk bekerja di luar negeri. Namun, semua upaya tersebut belum memadai karena kasus penganiyaan TKI di Malaysia masih kerap terulang.
Permasalahan lain yang dialami oleh TKI kita di Malaysia pada dasarnya terkait dengan persoalan perlindungan oleh negara ini terhadap warganya disana. Seperti yang telah disebutkan diatas, hampir setengah dari jumlah keseluruhan TKI di Malaysia berstatus ilegal alias “diselundupkan” oleh sekelompok jaringan terorganisasi. Padahal dengan menyelundupkan TKI itu, kita telah memberikan kesempatan untuk terjadinya dehumanisasi di Malaysia. Permasalahan yang telah dikemukaan diatas sebenarnya telah mendeskripsikan bagaimana potret TKI di negara ini. Hal ini mengesankan bahwa mereka yang oleh keluarga dan negara dijuluki sebagai “pahlawan devisa” ternyata tidak lebih dari sekumpulan manusia yang pantas untuk dihina, dianiaya, direndahkan martabatnya bahkan hingga diindustrialisasi secara seksual. Tanggung jawab siapakah ini, kala pahlawan negeri kita terluka di negeri Jiran, negeri yang katanya serumpun dan berasal dari nenek moyang yang sama? Tentu, kita tidak mau bangsa kita disegmentasi sebagai bangsa kuli karena sebutan demikian merupakan bentuk penghinaan yang sangat merendahkan derajat bangsa ini dan mencabik harkat kemanusiaan.
0 comments:
Posting Komentar