Semalam saya
menonton tayangan “Bukan Empat Mata”
bertemakan penjaja cinta.
Tema yang
klise dan selalu menarik untuk diangkat, terutama ya karena Tukul menghadirkan
pembicara yang merupakan pelaku tindakan tersebut. Ohya, saya nonton acara ini
sih sekilas saja dan tidak menonton dari awal hingga akhir. Hanya ada beberapa
opini setelah menonton tayangan ini.
Adalah dua
orang wanita sebut saja Biola (ayam kampus) dan Gitar (PSK di gang Dolly
Surabaya). Inti dari pembicaraan mereka berdua adalah… Mereka tidak punya
pilihan lain meski mereka merasa sedih melakukan pekerjaan yang mereka lakukaan
saat ini. Sedih, iya. Hancur? Pasti. Namun mereka bilang mereka terjerumus dan
tak tahu arah kembali.
Terlepas dari
norma agama apapun, sebagai seorang perempuan saya juga sedih melihat dan
mendengarnya. Bahkan, jika tak percaya pada Tuhan, mungkin kita bisa
menyalahkan kenapa ada takdir yang sebegitu kejamnya. Latar belakang mengapa
mereka terjerumus terhadap pekerjaan ini pun cukup tragis. Biola mengaku bahwa
keluarganya punya hutang-hutang akibat ibunya sakit, selain ia juga ingin
bergaya seperti teman-temannya. Gitar mengaku bahwa sulit hidup sebagai seorang
janda dengan dua orang anak. Dan ketika berniat menikah kembali, Gitar
mengalami kekerasan dari calonnya tsb. Ironi memang. Tapi apakah benar tidak
ada pilihan lain??
Ah, saya
memang seorang yang sungguh sangat beruntung. Benar-benar beruntung sebagai
seorang perempuan dan benar-benar bersyukur terhadap hidup saya ini -sehingga
mungkin saya tidak mengerti apa maksud mereka “tidak ada pilihan lain”
tersebut.
Akan tetapi
menurut saya, pendekatan interview terhadap Biola dan Gitar dalam reality show
yang terbuka tsb sepertinya kurang baik dari sisi psikologis. Seperti biasa,
acara reality show ini menyisipkan selentingan2 lawakan yang menurut saya
kurang pas untuk tema seperti ini sehingga terkesan melecehkan sang narasumber
(terlepas dari narasumber nrimo atau tidak karena kedatangan mereka juga pasti
dibalas imbalan)
Saya tidak
mengerti psikologi, tapi bagi anak-anak seperti Biola, pendekatan yang
seharusnya sebaiknya tidak langsung memberitahunya/menasehati tentang
norma-norma agama.
“Ih dosa loh Biola kamu kayak gini?”
“Kamu nggak
takut masuk neraka, Biola?”
Atau
semacamnya. Tidak akan berhasil bagi mereka. Pergaulan di lingkungan mereka
akan memaksa mereka berpikir bahwa
“agamalah yang membrainwashed sebuah pemikiran bahwa melakukan hubungan seks
adalah dosa”. Sehingga baiknya dilakukan pendekatan yang lain dari sisi
humanis..
Tapi saya
sungguh tidak paham, siapa yang harus memulai. Orangtuanya kah? Yang harus
aware terhadap anak-anak gadisnya? Orang terdekatkah? Atau siapa? Bahkan saya
tidak melakukan apa-apa…
Maaf..
Saya hanya
seorang penonton…